Surah Al-Insan Ayat 2


اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا ٢

2. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.


Tafsir

Ayat ini menerangkan unsur-unsur penciptaan manusia, yaitu bahwa manusia diciptakan dari sperma (nuthfah) laki-laki dan ovum perempuan yang bercampur. Kedua unsur itu berasal dari sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan dan keluar secara berpancaran. Firman Allah:

Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar, yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada. (ath-thariq/86: 6-7)

Perkataan amsyaj (bercampur) yang terdapat dalam ayat ini maksudnya ialah bercampurnya sperma laki-laki yang berwarna keputih-putihan dengan sel telur perempuan yang kekuning-kuningan. Campuran itulah yang menghasilkan segumpal darah (‘alaqah), kemudian segumpal daging (mudgah), lalu tulang belulang yang dibungkus dengan daging, dan seterusnya, sehingga setelah 9 bulan dalam rahim ibu lahirlah bayi yang sempurna.

Maksud Allah menciptakan manusia adalah untuk mengujinya dengan perintah (taklif) dan larangan, dan untuk menjunjung tegaknya risalah Allah di atas bumi ini. Sebagai ujiannya, di antaranya adalah apakah mereka bisa bersyukur pada waktu senang dan gembira, dan sabar dan tabah ketika menghadapi musuh.

Karena kelahiran manusia pada akhirnya bertujuan sebagai penjunjung amanat Allah, kepadanya dianugerahkan pendengaran dan penglihatan yang memungkinkannya menyimak dan menyaksikan kebesaran, kekuasaan, dan besarnya nikmat Allah. Manusia dianugerahi pendengaran dan akal pikiran adalah sebagai bukti tentang kekuasaan Allah. Penyebutan secara khusus pendengaran dan penglihatan dalam ayat ini bermakna bahwa keduanya adalah indra yang paling berfungsi mengamati ciptaan Allah untuk membawa manusia mentauhidkan-Nya.

Dengan alat penglihatan dan pendengaran serta dilengkapi pula dengan pikiran (akal), tersedialah dua kemungkinan bagi manusia. Apakah ia cenderung kembali kepada sifat asalnya sebagai makhluk bumi sehingga ia sama dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau ia cenderung untuk menjadi makhluk yang Ilahiah, yang berpikir dan memperhatikan kebesaran-Nya?

Setelah menjadi manusia yang sempurna indranya sehingga memungkinkan dia untuk memikul beban (taklif) dari Allah, maka diberikanlah kepadanya dua alternatif jalan hidup seperti disebutkan dalam ayat berikutnya.