Surah Al-Mulk Ayat 22
اَفَمَنْ يَّمْشِيْ مُكِبًّا عَلٰى وَجْهِهٖٓ اَهْدٰىٓ اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ٢٢
22. Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?
Tafsir
Pada ayat ini, Allah memberikan perbandingan kepada manusia antara perjalanan hidup yang ditempuh oleh orang-orang kafir dengan yang ditempuh oleh orang-orang yang beriman. Perbandingan ini diberikan dalam bentuk pertanyaan yang menyatakan bahwa orang yang selalu terjerembab atau tersungkur ketika berjalan dan kakinya selalu tersandung karena melalui jalan yang berbatu-batu dan berlubang-lubang, tidak mungkin akan selamat dan berjalan lebih cepat mencapai tujuan dibandingkan dengan orang yang berjalan dalam suasana yang baik dan aman, di atas jalan yang datar dan mulus, serta dalam cuaca yang baik pula.
Perbandingan dalam ayat di atas dikemukakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Kalimat pertanyaan dalam ayat ini bukanlah maksudnya untuk menanyakan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi untuk menyatakan suatu maksud yaitu bahwa perbuatan orang-orang kafir itu adalah perbuatan yang tidak benar. Dinyatakan bahwa perjalanan hidup orang-orang kafir itu adalah perjalanan hidup menuju kesengsaraan dan penderitaan yang sangat. Seakan-akan ayat ini menyatakan bahwa tentu orang yang berjalan tertelungkup dengan muka menyapu tanah akan mudah tersesat dalam perjalanannya mengarungi samudera hidup di dunia yang fana ini, sedang di akhirat kelak mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Sedangkan orang yang berjalan dengan cara yang baik, menempuh jalan yang baik dan lurus, yaitu jalan yang diridai Allah, tidak akan tersesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini dan pasti akan sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan diridai Allah. Di akhirat nanti, mereka akan menempati surga yang penuh kenikmatan yang disediakan Allah bagi mereka yang bertakwa.
Selanjutnya dapat pula diambil pengertian dari ayat ini bahwa manusia dalam menjalankan usahanya, melaksanakan pekerjaan, dan menunaikan kewajibannya haruslah berdasarkan kepada ketentuan agama Islam, petunjuk ilmu pengetahuan, akal pikiran yang sehat dan pengalaman, serta hasil penelitian para ahli sebelumnya. Ini bertujuan agar usaha dan pekerjaannya membuahkan hasil yang baik. Janganlah ia membabi-buta atau bekerja dengan semaunya saja, karena yang demikian itu hanyalah akan mengundang kegagalan dan bencana, baik untuk dirinya maupun orang lain.