Surah An-Nahl Ayat 116
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ ١١٦
116. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.
Tafsir
Dalam ayat ini, Allah swt melarang kaum Muslimin mengharam-kan atau menghalalkan makanan menurut selera dan hawa nafsu mereka, sebagaimana orang-orang musyrik. Mereka mempunyai kebiasaan meng-haramkan atau menghalalkan binatang semata-mata didasarkan nama istilah yang mereka tetapkan sendiri untuk binatang itu, misalnya: bahirah, sa’ibah, wasilah, dan ham, sebagaimana firman Allah swt:
Allah tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah, wasilah, dan ham. Tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (al-Ma’idah/5: 103)
Dalam menetapkan kehalalan atau keharaman suatu makanan atau minuman harus didasarkan pada dalil syara yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Penetapan hukum tanpa dalil-dalil syara tidak dibenarkan. Hal tersebut termasuk perbuatan yang mengada-ada dan melakukan kebohongan kepada Allah.
Dalam Al-Qur’an disebutkan tentang ucapan kaum musyrikin mengenai ketentuan anak hewan yang masih dalam kandungan induknya. Firman Allah swt:
Dan mereka berkata (pula), “Apa yang ada di dalam perut hewan ternak ini khusus untuk kaum laki-laki kami, haram bagi istri-istri kami.” (al-An’am/6: 139)
Karena berakibat sangat buruk terhadap kehidupan beragama, maka Allah memberikan ancaman yang keras kepada mereka yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Allah menegaskan bahwa mereka yang berbuat demikian tidak akan mencapai keberhasilan dalam kehidupan mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, mereka yang suka membuat-buat hukum tanpa dalil yang benar akan dikecam dan ditinggalkan oleh masyara-kat. Kebohongan mereka akan diketahui oleh masyarakat dan mereka akan menjadi sasaran ejekan dan penghinaan.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir diungkapkan bahwa termasuk dalam pengertian ayat ini ialah setiap orang yang menciptakan bid’ah (urusan agama) yang tidak punya landasan syara, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah semata-mata berdasarkan pikiran dan seleranya sendiri.