Surah At-Taubah Ayat 7
كَيْفَ يَكُوْنُ لِلْمُشْرِكِيْنَ عَهْدٌ عِنْدَ اللّٰهِ وَعِنْدَ رَسُوْلِهٖٓ اِلَّا الَّذِيْنَ عَاهَدْتُّمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِۚ فَمَا اسْتَقَامُوْا لَكُمْ فَاسْتَقِيْمُوْا لَهُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ ٧
7. Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali dengan orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharam (Hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
Tafsir
Allah dan Rasul-Nya tidak dapat meneruskan dan memelihara perjanjian dengan orang-orang musyrikin kecuali dengan mereka yang mengindahkan perjanjian di dekat Masjidilharam. Oleh karena itu, sebagai patokan umum yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslimin terhadap kaum musyrikin dijelaskan, bahwa jika mereka mematuhi syarat-syarat perjanjian, maka kaum Muslimin pun berbuat demikian pula terhadap mereka, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa, sedang orang-orang yang tidak mengindahkan syarat-syarat perjanjian adalah orang-orang yang berkhianat dan tidak bertakwa kepada Allah swt.
Yang dimaksud dengan perjanjian Masjidilharam di sini ialah perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada waktu Nabi Muhammad saw dan sejumlah besar para sahabat pada tahun ke-6 Hijri berangkat dari Medinah menuju Mekah untuk mengerjakan ibadah umrah setelah mereka sampai di suatu tempat yang bernama Hudaibiyah, 13 mil sebelah barat kota Mekah, mereka dicegat dan dihalang-halangi oleh orang-orang kafir Quraisy sehingga terjadilah perjanjian damai yang dinamakan dengan tempat itu.
Menurut riwayat Ibnu Abi hatim bahwa di antara suku Arab musyrik yang mengindahkan perjanjian Hudaibiyah itu adalah suku Bani amrah dan suku Kinanah, sehingga menurut sebagian mufasir, Nabi dan kaum Muslimin menyempurnakan perjanjian Hudaibiyah dengan dua suku ini, meskipun telah habis jangka masa empat bulan yang diberikan kepada kaum musyrikin.